Kamis, 06 September 2018

FAUNA SELURUH PROPINSI DI INDONESIA 1. CEUMPALA KUNENG (Trichixos pyrropygus) NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Ceumpala Kuneng atau kucica ekor kuning adalah seekor spesies burung dalam keluarga Muscicapidae. Burung ini dapat ditemukan di Brunei, Indonesia, Malaysia dan Thailand. Habitat alaminya yaitu di hutan dataran rendah yang lembab dan rawa-rawa di daerah subtropis atau tropis. Burung ini merupakan fauna daerah Aceh yang dikenal dengan nama cémpala kunèng dalam bahasa Aceh. Saat ini burung ini berstatus hampir terancam. Burung ini tersebar di Semenanjung Thailand, Semenanjung Malaya, Brunei dan Indonesia. Di Indonesia burung ini hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan. Burung ini berukuran sedang (21 cm), berekor panjang hitam dan jingga. Jantan menyerupai kucica hutan tetapi ekornya yang merah karat jauh lebih pendek, lebih banyak berwarna abu-abu gelap daripada hitam, alis pendek putih dan tunggir merah karat. Betina lebih coklat dan tidak punya alis putih. Burung remaja lebih coklat berbintik-bintik kuning merah karat. Iris coklat; paruh hitam; kaki hitam. Kicauannya tidak semerdu kucica hutan. Seri panjang terdiri dari siulan merdu, nada tunggal dan ganda, “pi-uuu”, meningkat dan menurun bergantian secara tidak tetap. Burung yang tidak umum dijumpai di kerimbunan hutan primer dan sekunder dataran rendah sampai ketinggian 1200 m diatas permukaan laut. Lebih menyukai hutan lembab rimbun termasuk hutan rawa.

flora fauna

1o6diPs

Selasa, 06 September 2016

ABDUR RAUF AS-SINGKILI

ABDUR RAUF AS-SINGKILI

 

         A.            Biografi Syekh Abdurrauf As-Singkili

Biografi Nama lengkap Abdul Rauf Al-Singkili adalah Amin al-Din Abdul Rauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri As-Singkili. Dia diperkirakan lahir di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan pada 1620 M. Ayahnya seorang guru dan mubalig yang bernama Ali berasal dari Persia atau Arabia yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Sesuai dengan gelaran al-Fansuri, ibu Abdul Rauf berasal dari Desa Fansur Barus. Sedangkan gelaran al-Singkili karena dia lahir di daerah Singkel, Aceh. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar agama Islam pada ayahnya sendiri.

Mengenai latar belakang pendidikannya, Abdul Rauf telah mempunyai dasar agama yang cukup kuat. Barulah sekitar tahun 1642 beliau merantau ke tanah Arab. Kepergiannya dikarenakan adanya kontroversi dan pertikaian antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nurudin ar Raniri dan para pengikutnya. Dengan alasan ini mungkin sekali Abdul Rauf mengetahui semua permasalahan yang mengakibatkan terjadinya pembakaran karya-karya Hamzah Fansuri. Akan tetapi, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kepergiannya ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji.

Selama di tanah Arab, Abdul Rauf belajar kepada sejumlah guru, ulama, dan tokoh mistik ternama di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al Faqih, dan tempat-tempat lain. Sebagai orang yang bisa dikatakan paling berpengaruh pada diri Abdul Rauf adalah Syeikh Shafiuddin Ahmad Al-Dajjani Al Qusyasyi, yakni guru spiritualnya di Madinah. Darinya Abdul Rauf mendapat ijazah dan khirqah untuk menjadi khalifah dalam Thariqat Syaththariyyah dan Qadiriyyah. Abdul Rauf bukanlah sekadar ulama tasawuf, tapi juga ahli ilmu-ilmu lahir seperti tafsir, fiqih, dan hadits. Perpaduan dua bidang ilmu tersebut sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdul Rauf, yang sangat menekankan perpaduan antara syariat dengan tasawuf.

Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat). Karena pola pemikiran Abdul Rauf menarik hati Sultanah Safiyyatudin yang saat itu memerintah Kesultanan Aceh, Abdul Rauf akhirnya diangkat sebagai Qadi Malik al ‘Addil yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan. Abdul Rauf wafat pada tahun 1693 dan dimakamkan di dekat Kuala Sungai Aceh. Oleh karena itu, beliau mendapat sebutan Teungku di Kuala. Kini, namanya diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi di Aceh, yaitu Universitas Syaikh Kuala.

 

         B.            Pendidikan yang ditempuh

Abdur Rauf mendapat pendidikan dari beliau, ia belajar bahasa arab, ilmu-ilmu agama, sejarah, mantik, filsafat, sastra arab/melayu dan juga bahasa persia.

Dari Simpang kanan, Abdur Rauf pindah ke Samudera pasai melanjutkan pelajarannya di Dayah tinggi Syekh Sjasuddin As-Samanthani, seorang ulama’ besar pengikut ulama aliran Hamzah Fansury. Setelah Syekh Sjasuddin As-Samanthani pindah ke Banda Aceh, karena tlah diangkat oleh sultan Iskandar Muda menjadi Qadli Malikul Adil, maka Abdur Rauf pun bertolak ke luar negeri, yaitu ke Mekkah dan negara-negara Arab lainnya.

Syeikh abdur rauf meneap di mekkah dan negeri-negeri arab lainnya selama 19 tahun, waktu yang cukup lama untuk mengarungi lautan ilmu. Sebagai seorang ahli hukum kenamaan, beliau menguasai segala bidan ilmu hukum, disamping menguasai filsafat, mmantik, tauhid, sejarah, ilmu bumi, politik an sebagainya.

Setelah belajar pada tempat-tempat pendidikan di sekitar Yaman, akhirnya beliau sampai ke tanah Haram, belajar di Jeddah, Mekkah, dan Madinnah, selama ia belajar di Yaman dan tanah Haram, Syeh Abdurrauf membekali dirinya dengan dua model ilmu, yaitu dengan ilmu zahir. dan ilmu bathin. Syeh Abdurrauf belajar ilmu batin ini tidak sendirian tetapi bersama seorang temannya Syeh Abdullah Arief yang lebih dikenal dengan Syeh Madinah atau disebut juga Tuanku Madinah di Tapakis, Pariaman, ia belajar thariqat pada Syeh Ahmad Qushasi (1583-1661) dan pada Syeh Ibrahim Qur’ani, pengganti Qushasi. Berkenaan dengan perjalanan rohaninya, beliau boleh memakai “khirqah”, yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam pengujian secara suluk.ia diberi selendang berwarna putih oleh gurunya sebagai pertanda pula ia telah dilantik sebagai khalifah mursyid dalam orde tarekat syattariyah, yang berarti boleh membai’at orang lain. sehingga berhak mengajarkan thariqat kepada murid-muridnya.

 

         C.            Pandangan Syekh Abdurrauf  Tentang Tasauf

Aliran Tasawuf yang dikembangkan oleh Syeh Abdurrauf sepulangnya dari negeri Arab dalam perkembangannya di Indonesia menghadapi dua kutub aliran tasauf yang berbeda sebagai warisan ulama terdahulu Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Nuruddin ar-Raniri, dalam kondisi demikian tarekat Syattariah menjadi ”penyejuk” bagi perbedaan yang tajam antara dua aliran wahdatul wujud dan syuhuduyah tersebut. Pendekatan yang dilakukan oleh Syeh Abdurrauf adalah mendamaikan antara paham-paham yang bertentangan, hal itu sejalan dengan kecenderungan jaringan ulama abad ke-17 M yang berupaya saling mendekatkan antara ulama yang berorientasi pada syariat dengan para sufi yang berorientasi pada makrifat. Diskursus rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Dari ini ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan Wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki. Menurutnya jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam.

 Al-Sinkili menpunyai pemikiran tentang zikir. Zikir, dalam pandangan al-Sinkili, merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan zikir inilah hati selalu mengingat Allah. Tujuan zikir ialah mencapai fana’ (tidak ada wujud selain wujud Allah), berarti wujud hati yang berzikir dekat dengan wujud-Nya.

Ajaran tasawuf al-Sinkili yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan: pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih merupakan hakikat ghaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah tercipta haqiqat Muhammadiyyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan a’ayyan al-tsabitah dan dari sinilah alam tercipta. Menurutnya, tingkatan itulah yang dimaksud Ibn’ Arabi dalam sya’ir-sya’nya.

 

         D.            CORAK PEMIKIRAN

rekonsiliasi syariah dan tasauf yang dikembangkan oleh Syeh Abdurrauf dapat diamati dari tiga pilar corak pemikirannya dalam bidang tasauf, ketiga pokok pemikiran tersebut adalah ketuhanan dan hubungan dengan alam, insan kamil, dan jalan menuju tuhan(tariqat).

a.              Ketuhanan dan hubungannya dengan alam, Syeh Abdurrauf menganut paham satu-satunya yang wujud hakiki adalah Allah, Alam ciptaannya adalah wujud bayangan-Nya yakni bayangan dari wujud hakiki.

b.             Insan kamil adalah sosok manusia ideal, Syeh Abdurrauf memahami insan kamil sebagai kombinasi dari paham al-Ghazali, al-Hallaj dan paham martabat tujuh yang telah ditulis oleh Syeh Abdullah al-Burhanpuri dalam kitab Tuhfah almursalah ila ruhin nabi.

c.              Thariqat (jalan kepada Allah), kecendrungan rekonsiliasi yang dilakukan oleh Syeh Abdurrauf sangat kentara sekali ketika ia menjelaskan tauhid dan zikir

Sejalan dengan kepatuhan total pada syariat, Abdul Rauf berpendapat bahwa dzikir penting bagi orang yang menempuh jalan tasawuf, di mana dasar dari tasawuf adalah dzikir yang berfungsi mendisiplinkan kerohanian Islam.

Dalam berdzikir ada dua metode yang diajarkannya, yaitu dzikir keras dan dzikir pelan. Dzikir keras seperti pengucapan "La ilaha illa Allah" sebagai penegasan akan keesaan Sang Pencipta. Dzikir menurut dia bukanlah membayangkan kehadiran gambar Tuhan melainkan melatih untuk memusatkan diri. Di samping itu, Abdul Rauf berpandangan bahwa tauhid menjadi pusat dari ajaran tasawuf. Pandangan-pandangan dasar Abdul Rauf tentang tasawuf ini tertera dalam kitab Tanbih Al-Masyi. La ilaha illa Allah menurut dia, memiliki empat tingkatan tauhid: penegasan, pengesahan ketuhanan Allah, mengesahkan sifat Allah dan mengesahkan dzat Tuhan.

 

         E.            Karya-Karya Syeh Abdurrauf As-Singkili

Syekh Abdurrauf selain dikenal sebagai tokok tasawuf aliran Syattariyah dan tokoh fiqh yang membolehkan wanita manjadi hakim, beliau juga dikenal sebagai penulis yang cukup produktif, ia telah melahirkan karya-karyanya yang merupakan kekayaan intelektual muslim indonesia yang sangat berharga. menurut Shalahuddin Hamid dalam bukunya” 100 Tokoh Islam yang paling berpengaruh di Indonesia”, jumlah karya tulis Syeh Abdurrauf as-Singkili berjumlah 21 buku, yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab tasauf, karya-karya beliau tersebut adalah :

1.        Turjuman al-Mustafid (terjemah pemberi faedah), merupakan kitab tafsir pertama dalam bahasa melayu, kitab ini ditulis oleh Syeh Abdurrauf sekembalinya dari negeri Arab.

2.        Mir’atuttullab fi tashil ma’rifat al-Ahkam asy-Syariat li al-Malik al-Wahhab, kitab fiqh yang ditulis olehnya atas permintaan Sulthanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah, isi kitab ini adalah kajian tentang muamalat, termasuk dalam kitab ini adalah kajian beliau yang membolehkan perempuan sebagai qadhi dan pemimpin.

3.        Al faraidh, risalah tentang hukum kewarisan dalam Islam.

4.        Hidayah al-Balighah, kitab fiqh yang isimya mengenai pembuktian dalam peradilan, kesaksian, dan sumpah.

5.        ’Umdat al Muhtajin ila suluk maslak al-Mufridin, kitab tasauf yang isinya terdiri atas tujuh bab, di akhir kitab ini Syeh Abdurrauf menguraikan silsilah tarekat Syattariyah sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

6.        Kifayatul Muhtajin ila masyrah al-Muwahhidin al Qailin bi Wahdat al-Wujud, berisi beberapa fragmen mengenai ilmu tasauf.

7.        Daqaiqul Huruf, yang isinya terhadap beberapa bait syair Ibn Arabi

8.        Bayan Tajalli, kitab ini berisi tentang penjelasan Abdurrauf tentang zikir yang yang utama dibaca ketika sakaratul maut

9.        Tambihul Masyi Manshub ila Thariqi al-Qushasi, isinya mencerminkan perjalanan tasauf Syeh Abdurrauf dengan gurunya Ahmad Qushasi.

10.    Attariqat as-Syattariyah, berisi tentang pokok ajaran Syattariyah.

11.    Mawaizil Badiah, berisi tiga puluh dua hadits beserta syarahnya yang berhubungan dengan tauhid, akhlaq, ibadat dan tasauf.

12.    Penjelasan tentang Matan al-Arba’in an-Nawawi.

13.    Bayan al-Arkan, pedoman dalam melaksanakan ibadat.

14.    Risalah adab Murid dengan Syeh.

15.    Risalah Mukhtasar fi Bayan Syurut as-Syeh wa al-Murid, yang berisi tentang kewajiban-kewajiban murid terhadap guru mereka terutama dalam metode zikir metode tarekat Syattariyah.

16.    Syams al-Makrifat, uraian berisi tasauf, ilmu ma’rifat yang beliau ambil dari Ahmad Qushasi.

17.    Majmu’ Masail, berisi tasauf terutama uraiaan menyangkut kehidupan beragama.

18.    Bayan al-Aghmadal Masail wa Sifat al-Wajibat li Rabb al-Ard wa as-Samawati, isinya tentang al-Akyan as-sabithah, sebuah masalah yang dianggap sangat rumit oleh para sufi termasuk oleh Nuruddin ar-Raniry.

19.    Lubb al-Kasy wa al-Bayan lima yarahu al-Muqtadar bi al-Iyan, isinya tentang sakaratul maut.

20.    Sullam al-Mustafidhin, penjelasan tentang nazam-nazam yang dikarang oleh gurunya al Qushasi.

21.    Pernyataan tentang zikir yang paling utama pada saat sakaratul maut, yaitu la ilaa ha illa Allah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ABDUR RAUF AS-SINGKILI

 

         A.            Biografi Syekh Abdurrauf As-Singkili

Biografi Nama lengkap Abdul Rauf Al-Singkili adalah Amin al-Din Abdul Rauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri As-Singkili. Dia diperkirakan lahir di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan pada 1620 M. Ayahnya seorang guru dan mubalig yang bernama Ali berasal dari Persia atau Arabia yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Sesuai dengan gelaran al-Fansuri, ibu Abdul Rauf berasal dari Desa Fansur Barus. Sedangkan gelaran al-Singkili karena dia lahir di daerah Singkel, Aceh. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar agama Islam pada ayahnya sendiri.

Mengenai latar belakang pendidikannya, Abdul Rauf telah mempunyai dasar agama yang cukup kuat. Barulah sekitar tahun 1642 beliau merantau ke tanah Arab. Kepergiannya dikarenakan adanya kontroversi dan pertikaian antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nurudin ar Raniri dan para pengikutnya. Dengan alasan ini mungkin sekali Abdul Rauf mengetahui semua permasalahan yang mengakibatkan terjadinya pembakaran karya-karya Hamzah Fansuri. Akan tetapi, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kepergiannya ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji.

Selama di tanah Arab, Abdul Rauf belajar kepada sejumlah guru, ulama, dan tokoh mistik ternama di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al Faqih, dan tempat-tempat lain. Sebagai orang yang bisa dikatakan paling berpengaruh pada diri Abdul Rauf adalah Syeikh Shafiuddin Ahmad Al-Dajjani Al Qusyasyi, yakni guru spiritualnya di Madinah. Darinya Abdul Rauf mendapat ijazah dan khirqah untuk menjadi khalifah dalam Thariqat Syaththariyyah dan Qadiriyyah. Abdul Rauf bukanlah sekadar ulama tasawuf, tapi juga ahli ilmu-ilmu lahir seperti tafsir, fiqih, dan hadits. Perpaduan dua bidang ilmu tersebut sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdul Rauf, yang sangat menekankan perpaduan antara syariat dengan tasawuf.

Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat). Karena pola pemikiran Abdul Rauf menarik hati Sultanah Safiyyatudin yang saat itu memerintah Kesultanan Aceh, Abdul Rauf akhirnya diangkat sebagai Qadi Malik al ‘Addil yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan. Abdul Rauf wafat pada tahun 1693 dan dimakamkan di dekat Kuala Sungai Aceh. Oleh karena itu, beliau mendapat sebutan Teungku di Kuala. Kini, namanya diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi di Aceh, yaitu Universitas Syaikh Kuala.

 

         B.            Pendidikan yang ditempuh

Abdur Rauf mendapat pendidikan dari beliau, ia belajar bahasa arab, ilmu-ilmu agama, sejarah, mantik, filsafat, sastra arab/melayu dan juga bahasa persia.

Dari Simpang kanan, Abdur Rauf pindah ke Samudera pasai melanjutkan pelajarannya di Dayah tinggi Syekh Sjasuddin As-Samanthani, seorang ulama’ besar pengikut ulama aliran Hamzah Fansury. Setelah Syekh Sjasuddin As-Samanthani pindah ke Banda Aceh, karena tlah diangkat oleh sultan Iskandar Muda menjadi Qadli Malikul Adil, maka Abdur Rauf pun bertolak ke luar negeri, yaitu ke Mekkah dan negara-negara Arab lainnya.

Syeikh abdur rauf meneap di mekkah dan negeri-negeri arab lainnya selama 19 tahun, waktu yang cukup lama untuk mengarungi lautan ilmu. Sebagai seorang ahli hukum kenamaan, beliau menguasai segala bidan ilmu hukum, disamping menguasai filsafat, mmantik, tauhid, sejarah, ilmu bumi, politik an sebagainya.

Setelah belajar pada tempat-tempat pendidikan di sekitar Yaman, akhirnya beliau sampai ke tanah Haram, belajar di Jeddah, Mekkah, dan Madinnah, selama ia belajar di Yaman dan tanah Haram, Syeh Abdurrauf membekali dirinya dengan dua model ilmu, yaitu dengan ilmu zahir. dan ilmu bathin. Syeh Abdurrauf belajar ilmu batin ini tidak sendirian tetapi bersama seorang temannya Syeh Abdullah Arief yang lebih dikenal dengan Syeh Madinah atau disebut juga Tuanku Madinah di Tapakis, Pariaman, ia belajar thariqat pada Syeh Ahmad Qushasi (1583-1661) dan pada Syeh Ibrahim Qur’ani, pengganti Qushasi. Berkenaan dengan perjalanan rohaninya, beliau boleh memakai “khirqah”, yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam pengujian secara suluk.ia diberi selendang berwarna putih oleh gurunya sebagai pertanda pula ia telah dilantik sebagai khalifah mursyid dalam orde tarekat syattariyah, yang berarti boleh membai’at orang lain. sehingga berhak mengajarkan thariqat kepada murid-muridnya.

 

         C.            Pandangan Syekh Abdurrauf  Tentang Tasauf

Aliran Tasawuf yang dikembangkan oleh Syeh Abdurrauf sepulangnya dari negeri Arab dalam perkembangannya di Indonesia menghadapi dua kutub aliran tasauf yang berbeda sebagai warisan ulama terdahulu Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Nuruddin ar-Raniri, dalam kondisi demikian tarekat Syattariah menjadi ”penyejuk” bagi perbedaan yang tajam antara dua aliran wahdatul wujud dan syuhuduyah tersebut. Pendekatan yang dilakukan oleh Syeh Abdurrauf adalah mendamaikan antara paham-paham yang bertentangan, hal itu sejalan dengan kecenderungan jaringan ulama abad ke-17 M yang berupaya saling mendekatkan antara ulama yang berorientasi pada syariat dengan para sufi yang berorientasi pada makrifat. Diskursus rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Dari ini ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan Wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki. Menurutnya jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam.

 Al-Sinkili menpunyai pemikiran tentang zikir. Zikir, dalam pandangan al-Sinkili, merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan zikir inilah hati selalu mengingat Allah. Tujuan zikir ialah mencapai fana’ (tidak ada wujud selain wujud Allah), berarti wujud hati yang berzikir dekat dengan wujud-Nya.

Ajaran tasawuf al-Sinkili yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan: pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih merupakan hakikat ghaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah tercipta haqiqat Muhammadiyyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan a’ayyan al-tsabitah dan dari sinilah alam tercipta. Menurutnya, tingkatan itulah yang dimaksud Ibn’ Arabi dalam sya’ir-sya’nya.

 

         D.            CORAK PEMIKIRAN

rekonsiliasi syariah dan tasauf yang dikembangkan oleh Syeh Abdurrauf dapat diamati dari tiga pilar corak pemikirannya dalam bidang tasauf, ketiga pokok pemikiran tersebut adalah ketuhanan dan hubungan dengan alam, insan kamil, dan jalan menuju tuhan(tariqat).

a.              Ketuhanan dan hubungannya dengan alam, Syeh Abdurrauf menganut paham satu-satunya yang wujud hakiki adalah Allah, Alam ciptaannya adalah wujud bayangan-Nya yakni bayangan dari wujud hakiki.

b.             Insan kamil adalah sosok manusia ideal, Syeh Abdurrauf memahami insan kamil sebagai kombinasi dari paham al-Ghazali, al-Hallaj dan paham martabat tujuh yang telah ditulis oleh Syeh Abdullah al-Burhanpuri dalam kitab Tuhfah almursalah ila ruhin nabi.

c.              Thariqat (jalan kepada Allah), kecendrungan rekonsiliasi yang dilakukan oleh Syeh Abdurrauf sangat kentara sekali ketika ia menjelaskan tauhid dan zikir

Sejalan dengan kepatuhan total pada syariat, Abdul Rauf berpendapat bahwa dzikir penting bagi orang yang menempuh jalan tasawuf, di mana dasar dari tasawuf adalah dzikir yang berfungsi mendisiplinkan kerohanian Islam.

Dalam berdzikir ada dua metode yang diajarkannya, yaitu dzikir keras dan dzikir pelan. Dzikir keras seperti pengucapan "La ilaha illa Allah" sebagai penegasan akan keesaan Sang Pencipta. Dzikir menurut dia bukanlah membayangkan kehadiran gambar Tuhan melainkan melatih untuk memusatkan diri. Di samping itu, Abdul Rauf berpandangan bahwa tauhid menjadi pusat dari ajaran tasawuf. Pandangan-pandangan dasar Abdul Rauf tentang tasawuf ini tertera dalam kitab Tanbih Al-Masyi. La ilaha illa Allah menurut dia, memiliki empat tingkatan tauhid: penegasan, pengesahan ketuhanan Allah, mengesahkan sifat Allah dan mengesahkan dzat Tuhan.

 

         E.            Karya-Karya Syeh Abdurrauf As-Singkili

Syekh Abdurrauf selain dikenal sebagai tokok tasawuf aliran Syattariyah dan tokoh fiqh yang membolehkan wanita manjadi hakim, beliau juga dikenal sebagai penulis yang cukup produktif, ia telah melahirkan karya-karyanya yang merupakan kekayaan intelektual muslim indonesia yang sangat berharga. menurut Shalahuddin Hamid dalam bukunya” 100 Tokoh Islam yang paling berpengaruh di Indonesia”, jumlah karya tulis Syeh Abdurrauf as-Singkili berjumlah 21 buku, yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab tasauf, karya-karya beliau tersebut adalah :

1.        Turjuman al-Mustafid (terjemah pemberi faedah), merupakan kitab tafsir pertama dalam bahasa melayu, kitab ini ditulis oleh Syeh Abdurrauf sekembalinya dari negeri Arab.

2.        Mir’atuttullab fi tashil ma’rifat al-Ahkam asy-Syariat li al-Malik al-Wahhab, kitab fiqh yang ditulis olehnya atas permintaan Sulthanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah, isi kitab ini adalah kajian tentang muamalat, termasuk dalam kitab ini adalah kajian beliau yang membolehkan perempuan sebagai qadhi dan pemimpin.

3.        Al faraidh, risalah tentang hukum kewarisan dalam Islam.

4.        Hidayah al-Balighah, kitab fiqh yang isimya mengenai pembuktian dalam peradilan, kesaksian, dan sumpah.

5.        ’Umdat al Muhtajin ila suluk maslak al-Mufridin, kitab tasauf yang isinya terdiri atas tujuh bab, di akhir kitab ini Syeh Abdurrauf menguraikan silsilah tarekat Syattariyah sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

6.        Kifayatul Muhtajin ila masyrah al-Muwahhidin al Qailin bi Wahdat al-Wujud, berisi beberapa fragmen mengenai ilmu tasauf.

7.        Daqaiqul Huruf, yang isinya terhadap beberapa bait syair Ibn Arabi

8.        Bayan Tajalli, kitab ini berisi tentang penjelasan Abdurrauf tentang zikir yang yang utama dibaca ketika sakaratul maut

9.        Tambihul Masyi Manshub ila Thariqi al-Qushasi, isinya mencerminkan perjalanan tasauf Syeh Abdurrauf dengan gurunya Ahmad Qushasi.

10.    Attariqat as-Syattariyah, berisi tentang pokok ajaran Syattariyah.

11.    Mawaizil Badiah, berisi tiga puluh dua hadits beserta syarahnya yang berhubungan dengan tauhid, akhlaq, ibadat dan tasauf.

12.    Penjelasan tentang Matan al-Arba’in an-Nawawi.

13.    Bayan al-Arkan, pedoman dalam melaksanakan ibadat.

14.    Risalah adab Murid dengan Syeh.

15.    Risalah Mukhtasar fi Bayan Syurut as-Syeh wa al-Murid, yang berisi tentang kewajiban-kewajiban murid terhadap guru mereka terutama dalam metode zikir metode tarekat Syattariyah.

16.    Syams al-Makrifat, uraian berisi tasauf, ilmu ma’rifat yang beliau ambil dari Ahmad Qushasi.

17.    Majmu’ Masail, berisi tasauf terutama uraiaan menyangkut kehidupan beragama.

18.    Bayan al-Aghmadal Masail wa Sifat al-Wajibat li Rabb al-Ard wa as-Samawati, isinya tentang al-Akyan as-sabithah, sebuah masalah yang dianggap sangat rumit oleh para sufi termasuk oleh Nuruddin ar-Raniry.

19.    Lubb al-Kasy wa al-Bayan lima yarahu al-Muqtadar bi al-Iyan, isinya tentang sakaratul maut.

20.    Sullam al-Mustafidhin, penjelasan tentang nazam-nazam yang dikarang oleh gurunya al Qushasi.

21.    Pernyataan tentang zikir yang paling utama pada saat sakaratul maut, yaitu la ilaa ha illa Allah.