Kamis, 06 September 2018
Selasa, 06 September 2016
ABDUR RAUF AS-SINGKILI
ABDUR RAUF AS-SINGKILI
A.
Biografi Syekh
Abdurrauf As-Singkili
Biografi Nama lengkap Abdul Rauf Al-Singkili
adalah Amin al-Din Abdul Rauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri As-Singkili. Dia
diperkirakan lahir di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan pada 1620 M. Ayahnya
seorang guru dan mubalig yang bernama Ali berasal dari Persia atau Arabia yang
datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Sesuai dengan
gelaran al-Fansuri, ibu Abdul Rauf berasal dari Desa Fansur Barus. Sedangkan
gelaran al-Singkili karena dia lahir di daerah Singkel, Aceh. Pada masa
mudanya, ia mula-mula belajar agama Islam pada ayahnya sendiri.
Mengenai latar belakang pendidikannya, Abdul
Rauf telah mempunyai dasar agama yang cukup kuat. Barulah sekitar tahun 1642
beliau merantau ke tanah Arab. Kepergiannya dikarenakan adanya kontroversi dan
pertikaian antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nurudin ar
Raniri dan para pengikutnya. Dengan alasan ini mungkin sekali Abdul Rauf
mengetahui semua permasalahan yang mengakibatkan terjadinya pembakaran
karya-karya Hamzah Fansuri. Akan tetapi, ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa kepergiannya ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji.
Selama di tanah Arab, Abdul Rauf belajar kepada
sejumlah guru, ulama, dan tokoh mistik ternama di Jeddah, Makkah, Madinah,
Mokha, Bait al Faqih, dan tempat-tempat lain. Sebagai orang yang bisa dikatakan
paling berpengaruh pada diri Abdul Rauf adalah Syeikh Shafiuddin Ahmad
Al-Dajjani Al Qusyasyi, yakni guru spiritualnya di Madinah. Darinya Abdul Rauf
mendapat ijazah dan khirqah untuk menjadi khalifah dalam Thariqat
Syaththariyyah dan Qadiriyyah. Abdul Rauf bukanlah sekadar ulama tasawuf, tapi
juga ahli ilmu-ilmu lahir seperti tafsir, fiqih, dan hadits. Perpaduan dua
bidang ilmu tersebut sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdul Rauf, yang sangat
menekankan perpaduan antara syariat dengan tasawuf.
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun
1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang
diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta
wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin
Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari
Tasikmalaya, Jawa Barat). Karena pola pemikiran Abdul Rauf menarik hati
Sultanah Safiyyatudin yang saat itu memerintah Kesultanan Aceh, Abdul Rauf
akhirnya diangkat sebagai Qadi Malik al ‘Addil yang bertanggung jawab atas
administrasi masalah-masalah keagamaan. Abdul Rauf wafat pada tahun 1693 dan
dimakamkan di dekat Kuala Sungai Aceh. Oleh karena itu, beliau mendapat sebutan
Teungku di Kuala. Kini, namanya diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi
di Aceh, yaitu Universitas Syaikh Kuala.
B.
Pendidikan yang
ditempuh
Abdur Rauf mendapat pendidikan dari beliau, ia
belajar bahasa arab, ilmu-ilmu agama, sejarah, mantik, filsafat, sastra
arab/melayu dan juga bahasa persia.
Dari
Simpang kanan, Abdur Rauf pindah ke Samudera pasai melanjutkan pelajarannya di
Dayah tinggi Syekh Sjasuddin As-Samanthani, seorang ulama’ besar pengikut ulama
aliran Hamzah Fansury. Setelah Syekh Sjasuddin As-Samanthani pindah ke Banda
Aceh, karena tlah diangkat oleh sultan Iskandar Muda menjadi Qadli Malikul
Adil, maka Abdur Rauf pun bertolak ke luar negeri, yaitu ke Mekkah dan
negara-negara Arab lainnya.
Syeikh abdur rauf meneap di mekkah dan
negeri-negeri arab lainnya selama 19 tahun, waktu yang cukup lama untuk
mengarungi lautan ilmu. Sebagai seorang ahli hukum kenamaan, beliau menguasai
segala bidan ilmu hukum, disamping menguasai filsafat, mmantik, tauhid,
sejarah, ilmu bumi, politik an sebagainya.
Setelah belajar pada
tempat-tempat pendidikan di sekitar Yaman, akhirnya beliau sampai ke tanah
Haram, belajar di Jeddah, Mekkah, dan Madinnah, selama ia belajar di Yaman dan
tanah Haram, Syeh Abdurrauf membekali dirinya dengan dua model ilmu, yaitu dengan
ilmu zahir. dan ilmu bathin. Syeh Abdurrauf belajar ilmu batin ini tidak
sendirian tetapi bersama seorang temannya Syeh Abdullah Arief yang lebih
dikenal dengan Syeh Madinah atau disebut juga Tuanku Madinah di Tapakis,
Pariaman, ia belajar thariqat pada Syeh Ahmad Qushasi (1583-1661) dan pada Syeh
Ibrahim Qur’ani, pengganti Qushasi. Berkenaan dengan perjalanan rohaninya,
beliau boleh memakai “khirqah”, yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam
pengujian secara suluk.ia diberi selendang berwarna putih oleh gurunya sebagai
pertanda pula ia telah dilantik sebagai khalifah mursyid dalam orde tarekat
syattariyah, yang berarti boleh membai’at orang lain. sehingga berhak
mengajarkan thariqat kepada murid-muridnya.
C.
Pandangan Syekh
Abdurrauf Tentang Tasauf
Aliran Tasawuf yang
dikembangkan oleh Syeh Abdurrauf sepulangnya dari negeri Arab dalam
perkembangannya di Indonesia menghadapi dua kutub aliran tasauf yang berbeda
sebagai warisan ulama terdahulu Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan
Nuruddin ar-Raniri, dalam kondisi demikian tarekat Syattariah menjadi
”penyejuk” bagi perbedaan yang tajam antara dua aliran wahdatul wujud dan
syuhuduyah tersebut. Pendekatan yang dilakukan oleh Syeh Abdurrauf adalah
mendamaikan antara paham-paham yang bertentangan, hal itu sejalan dengan
kecenderungan jaringan ulama abad ke-17 M yang berupaya saling mendekatkan
antara ulama yang berorientasi pada syariat dengan para sufi yang berorientasi
pada makrifat. Diskursus rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Dari ini ajaran tasawufnya
mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut
paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Sedangkan alam ciptaan-Nya
bukanlah merupakan Wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki.
Menurutnya jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam.
Al-Sinkili menpunyai pemikiran tentang zikir. Zikir, dalam pandangan al-Sinkili,
merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan
zikir inilah hati selalu mengingat Allah. Tujuan zikir ialah mencapai fana’
(tidak ada wujud selain wujud Allah), berarti wujud hati yang berzikir dekat
dengan wujud-Nya.
Ajaran tasawuf al-Sinkili
yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan.
Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan: pertama, martabat ahadiyyah
atau la ta’ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih merupakan hakikat
ghaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah
atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah tercipta haqiqat Muhammadiyyah yang
potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun
tsani, yang disebut juga dengan a’ayyan al-tsabitah dan dari sinilah
alam tercipta. Menurutnya, tingkatan itulah yang dimaksud Ibn’ Arabi dalam sya’ir-sya’nya.
D.
CORAK PEMIKIRAN
rekonsiliasi
syariah dan tasauf yang dikembangkan oleh Syeh Abdurrauf dapat diamati dari
tiga pilar corak pemikirannya dalam bidang tasauf, ketiga pokok pemikiran
tersebut adalah ketuhanan dan hubungan dengan alam, insan kamil, dan jalan
menuju tuhan(tariqat).
a.
Ketuhanan
dan hubungannya dengan alam, Syeh Abdurrauf menganut paham satu-satunya yang
wujud hakiki adalah Allah, Alam ciptaannya adalah wujud bayangan-Nya yakni
bayangan dari wujud hakiki.
b.
Insan
kamil adalah sosok manusia ideal, Syeh Abdurrauf memahami insan kamil sebagai
kombinasi dari paham al-Ghazali, al-Hallaj dan paham martabat tujuh yang telah
ditulis oleh Syeh Abdullah al-Burhanpuri dalam kitab Tuhfah almursalah ila
ruhin nabi.
c.
Thariqat
(jalan kepada Allah), kecendrungan rekonsiliasi yang dilakukan oleh Syeh
Abdurrauf sangat kentara sekali ketika ia menjelaskan tauhid dan zikir
Sejalan dengan kepatuhan
total pada syariat, Abdul Rauf berpendapat bahwa dzikir penting bagi orang yang
menempuh jalan tasawuf, di mana dasar dari tasawuf adalah dzikir yang berfungsi
mendisiplinkan kerohanian Islam.
Dalam berdzikir ada dua metode yang
diajarkannya, yaitu dzikir keras dan dzikir pelan. Dzikir keras seperti
pengucapan "La ilaha illa Allah" sebagai penegasan akan keesaan Sang
Pencipta. Dzikir menurut dia bukanlah membayangkan kehadiran gambar Tuhan
melainkan melatih untuk memusatkan diri. Di samping itu, Abdul Rauf
berpandangan bahwa tauhid menjadi pusat dari ajaran tasawuf.
Pandangan-pandangan dasar Abdul Rauf tentang tasawuf ini tertera dalam kitab Tanbih
Al-Masyi. La ilaha illa Allah menurut dia, memiliki empat tingkatan tauhid:
penegasan, pengesahan ketuhanan Allah, mengesahkan sifat Allah dan mengesahkan
dzat Tuhan.
E.
Karya-Karya Syeh
Abdurrauf As-Singkili
Syekh Abdurrauf selain dikenal
sebagai tokok tasawuf aliran Syattariyah dan tokoh fiqh yang membolehkan wanita
manjadi hakim, beliau juga dikenal sebagai penulis yang cukup produktif, ia
telah melahirkan karya-karyanya yang merupakan kekayaan intelektual muslim
indonesia yang sangat berharga. menurut Shalahuddin Hamid dalam bukunya” 100
Tokoh Islam yang paling berpengaruh di Indonesia”, jumlah karya tulis Syeh
Abdurrauf as-Singkili berjumlah 21 buku, yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2
kitab hadits, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab tasauf, karya-karya beliau tersebut
adalah :
1.
Turjuman al-Mustafid (terjemah pemberi faedah),
merupakan kitab tafsir pertama dalam bahasa melayu, kitab ini ditulis oleh Syeh
Abdurrauf sekembalinya dari negeri Arab.
2.
Mir’atuttullab fi tashil ma’rifat al-Ahkam asy-Syariat
li al-Malik al-Wahhab, kitab fiqh yang ditulis olehnya atas permintaan
Sulthanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah, isi kitab ini adalah kajian tentang
muamalat, termasuk dalam kitab ini adalah kajian beliau yang membolehkan
perempuan sebagai qadhi dan pemimpin.
3.
Al faraidh, risalah tentang hukum kewarisan dalam
Islam.
4.
Hidayah al-Balighah, kitab fiqh yang isimya mengenai
pembuktian dalam peradilan, kesaksian, dan sumpah.
5.
’Umdat al Muhtajin ila suluk maslak al-Mufridin, kitab
tasauf yang isinya terdiri atas tujuh bab, di akhir kitab ini Syeh Abdurrauf
menguraikan silsilah tarekat Syattariyah sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
6.
Kifayatul Muhtajin ila masyrah al-Muwahhidin al Qailin
bi Wahdat al-Wujud, berisi beberapa fragmen mengenai ilmu tasauf.
7.
Daqaiqul Huruf, yang isinya terhadap beberapa bait
syair Ibn Arabi
8.
Bayan Tajalli, kitab ini berisi tentang penjelasan
Abdurrauf tentang zikir yang yang utama dibaca ketika sakaratul maut
9.
Tambihul Masyi Manshub ila Thariqi al-Qushasi, isinya
mencerminkan perjalanan tasauf Syeh Abdurrauf dengan gurunya Ahmad Qushasi.
10.
Attariqat as-Syattariyah, berisi tentang pokok ajaran
Syattariyah.
11.
Mawaizil Badiah, berisi tiga puluh dua hadits beserta
syarahnya yang berhubungan dengan tauhid, akhlaq, ibadat dan tasauf.
12.
Penjelasan tentang Matan al-Arba’in an-Nawawi.
13.
Bayan al-Arkan, pedoman dalam melaksanakan ibadat.
14.
Risalah adab Murid dengan Syeh.
15.
Risalah Mukhtasar fi Bayan Syurut as-Syeh wa al-Murid,
yang berisi tentang kewajiban-kewajiban murid terhadap guru mereka terutama
dalam metode zikir metode tarekat Syattariyah.
16.
Syams al-Makrifat, uraian berisi tasauf, ilmu ma’rifat
yang beliau ambil dari Ahmad Qushasi.
17.
Majmu’ Masail, berisi tasauf terutama uraiaan
menyangkut kehidupan beragama.
18.
Bayan al-Aghmadal Masail wa Sifat al-Wajibat li Rabb
al-Ard wa as-Samawati, isinya tentang al-Akyan as-sabithah, sebuah masalah yang
dianggap sangat rumit oleh para sufi termasuk oleh Nuruddin ar-Raniry.
19.
Lubb al-Kasy wa al-Bayan lima yarahu al-Muqtadar bi
al-Iyan, isinya tentang sakaratul maut.
20.
Sullam al-Mustafidhin, penjelasan tentang nazam-nazam
yang dikarang oleh gurunya al Qushasi.
21.
Pernyataan tentang zikir yang paling utama pada saat
sakaratul maut, yaitu la ilaa ha illa Allah.
ABDUR RAUF AS-SINGKILI
A.
Biografi Syekh
Abdurrauf As-Singkili
Biografi Nama lengkap Abdul Rauf Al-Singkili
adalah Amin al-Din Abdul Rauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri As-Singkili. Dia
diperkirakan lahir di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan pada 1620 M. Ayahnya
seorang guru dan mubalig yang bernama Ali berasal dari Persia atau Arabia yang
datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Sesuai dengan
gelaran al-Fansuri, ibu Abdul Rauf berasal dari Desa Fansur Barus. Sedangkan
gelaran al-Singkili karena dia lahir di daerah Singkel, Aceh. Pada masa
mudanya, ia mula-mula belajar agama Islam pada ayahnya sendiri.
Mengenai latar belakang pendidikannya, Abdul
Rauf telah mempunyai dasar agama yang cukup kuat. Barulah sekitar tahun 1642
beliau merantau ke tanah Arab. Kepergiannya dikarenakan adanya kontroversi dan
pertikaian antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nurudin ar
Raniri dan para pengikutnya. Dengan alasan ini mungkin sekali Abdul Rauf
mengetahui semua permasalahan yang mengakibatkan terjadinya pembakaran
karya-karya Hamzah Fansuri. Akan tetapi, ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa kepergiannya ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji.
Selama di tanah Arab, Abdul Rauf belajar kepada
sejumlah guru, ulama, dan tokoh mistik ternama di Jeddah, Makkah, Madinah,
Mokha, Bait al Faqih, dan tempat-tempat lain. Sebagai orang yang bisa dikatakan
paling berpengaruh pada diri Abdul Rauf adalah Syeikh Shafiuddin Ahmad
Al-Dajjani Al Qusyasyi, yakni guru spiritualnya di Madinah. Darinya Abdul Rauf
mendapat ijazah dan khirqah untuk menjadi khalifah dalam Thariqat
Syaththariyyah dan Qadiriyyah. Abdul Rauf bukanlah sekadar ulama tasawuf, tapi
juga ahli ilmu-ilmu lahir seperti tafsir, fiqih, dan hadits. Perpaduan dua
bidang ilmu tersebut sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdul Rauf, yang sangat
menekankan perpaduan antara syariat dengan tasawuf.
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun
1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang
diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta
wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin
Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari
Tasikmalaya, Jawa Barat). Karena pola pemikiran Abdul Rauf menarik hati
Sultanah Safiyyatudin yang saat itu memerintah Kesultanan Aceh, Abdul Rauf
akhirnya diangkat sebagai Qadi Malik al ‘Addil yang bertanggung jawab atas
administrasi masalah-masalah keagamaan. Abdul Rauf wafat pada tahun 1693 dan
dimakamkan di dekat Kuala Sungai Aceh. Oleh karena itu, beliau mendapat sebutan
Teungku di Kuala. Kini, namanya diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi
di Aceh, yaitu Universitas Syaikh Kuala.
B.
Pendidikan yang
ditempuh
Abdur Rauf mendapat pendidikan dari beliau, ia
belajar bahasa arab, ilmu-ilmu agama, sejarah, mantik, filsafat, sastra
arab/melayu dan juga bahasa persia.
Dari
Simpang kanan, Abdur Rauf pindah ke Samudera pasai melanjutkan pelajarannya di
Dayah tinggi Syekh Sjasuddin As-Samanthani, seorang ulama’ besar pengikut ulama
aliran Hamzah Fansury. Setelah Syekh Sjasuddin As-Samanthani pindah ke Banda
Aceh, karena tlah diangkat oleh sultan Iskandar Muda menjadi Qadli Malikul
Adil, maka Abdur Rauf pun bertolak ke luar negeri, yaitu ke Mekkah dan
negara-negara Arab lainnya.
Syeikh abdur rauf meneap di mekkah dan
negeri-negeri arab lainnya selama 19 tahun, waktu yang cukup lama untuk
mengarungi lautan ilmu. Sebagai seorang ahli hukum kenamaan, beliau menguasai
segala bidan ilmu hukum, disamping menguasai filsafat, mmantik, tauhid,
sejarah, ilmu bumi, politik an sebagainya.
Setelah belajar pada
tempat-tempat pendidikan di sekitar Yaman, akhirnya beliau sampai ke tanah
Haram, belajar di Jeddah, Mekkah, dan Madinnah, selama ia belajar di Yaman dan
tanah Haram, Syeh Abdurrauf membekali dirinya dengan dua model ilmu, yaitu dengan
ilmu zahir. dan ilmu bathin. Syeh Abdurrauf belajar ilmu batin ini tidak
sendirian tetapi bersama seorang temannya Syeh Abdullah Arief yang lebih
dikenal dengan Syeh Madinah atau disebut juga Tuanku Madinah di Tapakis,
Pariaman, ia belajar thariqat pada Syeh Ahmad Qushasi (1583-1661) dan pada Syeh
Ibrahim Qur’ani, pengganti Qushasi. Berkenaan dengan perjalanan rohaninya,
beliau boleh memakai “khirqah”, yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam
pengujian secara suluk.ia diberi selendang berwarna putih oleh gurunya sebagai
pertanda pula ia telah dilantik sebagai khalifah mursyid dalam orde tarekat
syattariyah, yang berarti boleh membai’at orang lain. sehingga berhak
mengajarkan thariqat kepada murid-muridnya.
C.
Pandangan Syekh
Abdurrauf Tentang Tasauf
Aliran Tasawuf yang
dikembangkan oleh Syeh Abdurrauf sepulangnya dari negeri Arab dalam
perkembangannya di Indonesia menghadapi dua kutub aliran tasauf yang berbeda
sebagai warisan ulama terdahulu Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan
Nuruddin ar-Raniri, dalam kondisi demikian tarekat Syattariah menjadi
”penyejuk” bagi perbedaan yang tajam antara dua aliran wahdatul wujud dan
syuhuduyah tersebut. Pendekatan yang dilakukan oleh Syeh Abdurrauf adalah
mendamaikan antara paham-paham yang bertentangan, hal itu sejalan dengan
kecenderungan jaringan ulama abad ke-17 M yang berupaya saling mendekatkan
antara ulama yang berorientasi pada syariat dengan para sufi yang berorientasi
pada makrifat. Diskursus rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Dari ini ajaran tasawufnya
mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut
paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Sedangkan alam ciptaan-Nya
bukanlah merupakan Wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki.
Menurutnya jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam.
Al-Sinkili menpunyai pemikiran tentang zikir. Zikir, dalam pandangan al-Sinkili,
merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan
zikir inilah hati selalu mengingat Allah. Tujuan zikir ialah mencapai fana’
(tidak ada wujud selain wujud Allah), berarti wujud hati yang berzikir dekat
dengan wujud-Nya.
Ajaran tasawuf al-Sinkili
yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan.
Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan: pertama, martabat ahadiyyah
atau la ta’ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih merupakan hakikat
ghaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah
atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah tercipta haqiqat Muhammadiyyah yang
potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun
tsani, yang disebut juga dengan a’ayyan al-tsabitah dan dari sinilah
alam tercipta. Menurutnya, tingkatan itulah yang dimaksud Ibn’ Arabi dalam sya’ir-sya’nya.
D.
CORAK PEMIKIRAN
rekonsiliasi
syariah dan tasauf yang dikembangkan oleh Syeh Abdurrauf dapat diamati dari
tiga pilar corak pemikirannya dalam bidang tasauf, ketiga pokok pemikiran
tersebut adalah ketuhanan dan hubungan dengan alam, insan kamil, dan jalan
menuju tuhan(tariqat).
a.
Ketuhanan
dan hubungannya dengan alam, Syeh Abdurrauf menganut paham satu-satunya yang
wujud hakiki adalah Allah, Alam ciptaannya adalah wujud bayangan-Nya yakni
bayangan dari wujud hakiki.
b.
Insan
kamil adalah sosok manusia ideal, Syeh Abdurrauf memahami insan kamil sebagai
kombinasi dari paham al-Ghazali, al-Hallaj dan paham martabat tujuh yang telah
ditulis oleh Syeh Abdullah al-Burhanpuri dalam kitab Tuhfah almursalah ila
ruhin nabi.
c.
Thariqat
(jalan kepada Allah), kecendrungan rekonsiliasi yang dilakukan oleh Syeh
Abdurrauf sangat kentara sekali ketika ia menjelaskan tauhid dan zikir
Sejalan dengan kepatuhan
total pada syariat, Abdul Rauf berpendapat bahwa dzikir penting bagi orang yang
menempuh jalan tasawuf, di mana dasar dari tasawuf adalah dzikir yang berfungsi
mendisiplinkan kerohanian Islam.
Dalam berdzikir ada dua metode yang
diajarkannya, yaitu dzikir keras dan dzikir pelan. Dzikir keras seperti
pengucapan "La ilaha illa Allah" sebagai penegasan akan keesaan Sang
Pencipta. Dzikir menurut dia bukanlah membayangkan kehadiran gambar Tuhan
melainkan melatih untuk memusatkan diri. Di samping itu, Abdul Rauf
berpandangan bahwa tauhid menjadi pusat dari ajaran tasawuf.
Pandangan-pandangan dasar Abdul Rauf tentang tasawuf ini tertera dalam kitab Tanbih
Al-Masyi. La ilaha illa Allah menurut dia, memiliki empat tingkatan tauhid:
penegasan, pengesahan ketuhanan Allah, mengesahkan sifat Allah dan mengesahkan
dzat Tuhan.
E.
Karya-Karya Syeh
Abdurrauf As-Singkili
Syekh Abdurrauf selain dikenal
sebagai tokok tasawuf aliran Syattariyah dan tokoh fiqh yang membolehkan wanita
manjadi hakim, beliau juga dikenal sebagai penulis yang cukup produktif, ia
telah melahirkan karya-karyanya yang merupakan kekayaan intelektual muslim
indonesia yang sangat berharga. menurut Shalahuddin Hamid dalam bukunya” 100
Tokoh Islam yang paling berpengaruh di Indonesia”, jumlah karya tulis Syeh
Abdurrauf as-Singkili berjumlah 21 buku, yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2
kitab hadits, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab tasauf, karya-karya beliau tersebut
adalah :
1.
Turjuman al-Mustafid (terjemah pemberi faedah),
merupakan kitab tafsir pertama dalam bahasa melayu, kitab ini ditulis oleh Syeh
Abdurrauf sekembalinya dari negeri Arab.
2.
Mir’atuttullab fi tashil ma’rifat al-Ahkam asy-Syariat
li al-Malik al-Wahhab, kitab fiqh yang ditulis olehnya atas permintaan
Sulthanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah, isi kitab ini adalah kajian tentang
muamalat, termasuk dalam kitab ini adalah kajian beliau yang membolehkan
perempuan sebagai qadhi dan pemimpin.
3.
Al faraidh, risalah tentang hukum kewarisan dalam
Islam.
4.
Hidayah al-Balighah, kitab fiqh yang isimya mengenai
pembuktian dalam peradilan, kesaksian, dan sumpah.
5.
’Umdat al Muhtajin ila suluk maslak al-Mufridin, kitab
tasauf yang isinya terdiri atas tujuh bab, di akhir kitab ini Syeh Abdurrauf
menguraikan silsilah tarekat Syattariyah sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
6.
Kifayatul Muhtajin ila masyrah al-Muwahhidin al Qailin
bi Wahdat al-Wujud, berisi beberapa fragmen mengenai ilmu tasauf.
7.
Daqaiqul Huruf, yang isinya terhadap beberapa bait
syair Ibn Arabi
8.
Bayan Tajalli, kitab ini berisi tentang penjelasan
Abdurrauf tentang zikir yang yang utama dibaca ketika sakaratul maut
9.
Tambihul Masyi Manshub ila Thariqi al-Qushasi, isinya
mencerminkan perjalanan tasauf Syeh Abdurrauf dengan gurunya Ahmad Qushasi.
10.
Attariqat as-Syattariyah, berisi tentang pokok ajaran
Syattariyah.
11.
Mawaizil Badiah, berisi tiga puluh dua hadits beserta
syarahnya yang berhubungan dengan tauhid, akhlaq, ibadat dan tasauf.
12.
Penjelasan tentang Matan al-Arba’in an-Nawawi.
13.
Bayan al-Arkan, pedoman dalam melaksanakan ibadat.
14.
Risalah adab Murid dengan Syeh.
15.
Risalah Mukhtasar fi Bayan Syurut as-Syeh wa al-Murid,
yang berisi tentang kewajiban-kewajiban murid terhadap guru mereka terutama
dalam metode zikir metode tarekat Syattariyah.
16.
Syams al-Makrifat, uraian berisi tasauf, ilmu ma’rifat
yang beliau ambil dari Ahmad Qushasi.
17.
Majmu’ Masail, berisi tasauf terutama uraiaan
menyangkut kehidupan beragama.
18.
Bayan al-Aghmadal Masail wa Sifat al-Wajibat li Rabb
al-Ard wa as-Samawati, isinya tentang al-Akyan as-sabithah, sebuah masalah yang
dianggap sangat rumit oleh para sufi termasuk oleh Nuruddin ar-Raniry.
19.
Lubb al-Kasy wa al-Bayan lima yarahu al-Muqtadar bi
al-Iyan, isinya tentang sakaratul maut.
20.
Sullam al-Mustafidhin, penjelasan tentang nazam-nazam
yang dikarang oleh gurunya al Qushasi.
21.
Pernyataan tentang zikir yang paling utama pada saat
sakaratul maut, yaitu la ilaa ha illa Allah.